Kastil aku..

Sabtu, 24 Januari 2015

a huge love in Raker Organta 2015..

Mari kita masuk ke gerbong tiga, kereta jurusan Stasiun Pasar Senen Jakarta - Stasiun Tawang Semarang, duduk di kursi yg sudah tertera di tiketmu, nikmati perjalananmu, sambil menelusuri kelokan rel besi itu, bolehkah aku bercerita tentang beberapa hal yg aku alami 2-3 hari kemarin? Aku bertaruh kau akan menyukainya, karena kali ini aku akan menyuguhkan cerita tentang cinta. Kalaupun kau tak menyukainya, setidaknya kau memiliki sesuatu yg menemani perjalanan 6 jam-mu ini. Ceritaku.
Kemarin, 23 Januari 2015 adalah hari keduaku mengikuti rapat koordinasi atau disingkat rakor di unit tempatku berkarya, ah iya kawan, mengingat kata koordinasi, aku ingin bertanya padamu yg aku yakin ahli dalam hal tata menata bahasa. Ketika koordinasi mendapat awalan meng-, akan jadi seperti apa kata itu? Mengkoordinasi kah, atau mengoordinir? Tidak keduanya, kawan? Lalu apa.. sepertinya aku mulai pusing memikirkan kaidah bahasa ini, kawan. Baru satu kata seperti itu saja banyak aturan yg mengikutinya, apalagi kau yg mendalami ilmu ini, tidakkah kau menjadi gila? Sudah, nanti saja kau jawab setelah kereta ini sampai di tujuan akhirnya. Aku tidak ingin kau sela, kawan. Biarkan aku selesaikan cerita ini, meski belum ku mulai.

Kawan, sepertinya aku harus mengoreksi satu hal kecil tapi materiil, ternyata raker yg aku maksud, bukan rakor, begitu saja, jangan memperpanjang masalah, kalau begitu saja sudah bisa selesai.

Raker tahun 2015, itu raker pertama yg aku ikuti. Kegiatan berkumpulnya semua subunit, dari kepala hingga staf, berdiskusi beradu argumentasi bertaburan fakta akademisi pembeberan hambatan masa kini dan yg terpenting pengumuman capaian prestasi. Aku tidak akan menceritakan detilnya kawan, seperti tentang pembawa acara yg gugup di awal, namun kemudian memantapkan diri untuk bisa tunjukkan gengsi, berusaha menghibur peserta meski kadang tak sesuai rencana, apapun itu aku salut dengan siapapun yg berani berbicara di depan, karena itu tidak mudah, tidak pernah mudah. Berbeda dengan pendengar, yg hanya bisa mengritik berkomentar sarkas, seolah dia mampu berbuat lebih baik, seandainya pun mampu, mengapa tidak kau saja yg berdiri sekarang di sana? Maaf kawan, bercerita pun tidaklah mudah, kadang kau menemukan cabang lain yg tak sengaja ikut kau ceritakan, kadang kau harus melewatkan beberapa bagian karena menurutmu itu tidak penting, atau saking pentingnya hingga kau ingin menyimpannya hanya untukmu sendiri.

Aku tidak akan menceritakan detilnya kawan, seperti tentang para petinggi yg duduk berseberangan dengan peserta rapat, yg mereka dalam tanggung jawab besarnya berupaya menjadi pemimpin yg sebaik-baiknya, yg mau tidak mau disukai dan tidak disukai, tak masalah asal tujuan utama menjadi bagian membangun bangsa ini bisa tercapai. Mereka yg di depan itu, aku tau berusaha dengan amat kuat menjadi pribadi yg patut dicontoh, oleh anak-anak muda macam diriku yg saat itu hanya bisa diam mengamati mencoba mencerna setiap kata walau seringnya kantuk yg menyapa. Bagaimana mereka mengatakann kurang setuju, bagaimana mereka mengatakan menerima perbedaan pendapat dengan lapang dada, bagaimana mereka tidak saling menyerang meski kadang bergesekan, dan banyak hal lagi.

Aku tidak akan menceritakan detilnya kawan, seperti tentang sekelompok orang yg berada di balik layar, yg menjadi ujung tombak berlanjutnya rapat itu, karena bagaimanapun tanpa asupan yg mereka siapkan tentu akan sangat berat melanjutkan diskusi dengan perut keroncongan. Tentang mereka yg pontang panting mencari piring saji untuk 80-an peserta, pinjam sana sini-pun dilakukan, kawan. Tentang mereka yg dalam rintik hujan mencari air mineral untuk pelengkap konsumsi, ah bukan, penghapus seraknya kerongkongan akibat terlalu seringnya kata-kata terlontar. Dengan begitu, bukankah mereka, bagian yg mengurusi konsumsi, juga tak kalah pentingnya perannya, kawan?
Hei, aku tidak ingin kau sela, kawan. Lihatlah keluar jendela jika kau sedikit lelah dengan ceritaku, lihatlah sawah membentang sepanjang mata memandang. Hingga pertanyaan itu akan terbesit, dengan sedemikian kekayaan alam kita, mengapa kita masih seperti ini? Terpuruk.

Aku tidak ingin membahas itu sekarang, kawan. Aku ingin menyelesaikan ceritaku dulu, jadi mau kah kau sedikit bersabar dan mendengarkan?
Meski kadang suaraku terkalahkan oleh suara gesekan roda besi dengan rel, atau dengan suara klakson kereta yg dibunyikan masinis untuk berikan peringatan tentang keberadaan kita, ah bukan klakson ya namanya, biarlah, nanti setelah kita sampai beri tau aku tentang namanya yg benar ya, kawan.

Aku tidak akan menceritakan detilnya kawan, seperti tentang peserta rapat yg kau tau sendiri bagaimana pembagian di antara mereka, mau tidak mau mereka telah membagi diri mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok, tapi apapun itu kawan, aku berani menjamin mereka ada di satu semangat yg sama. Tentang apa itu, biarlah hati hati itu yg menjawab, kawan. Kita di sini, cukup mengamati dan membahasnya dalam cerita. Bukankah itu menyenangkan? Menceritakan orang lain dengan segala kebaikan dan keburukan? Atau lebih sering kebaikannya yg kita umbar? Ingat kawan, ketika satu saat kau bercerita tentang buruknya ia, maka di satu saat lain orang akan bercerita tentang sangat buruknya dirimu. Mata rantai setan yg tak terputus. Akan terus berulang hingga semua merugi, kecuali orang-orang yg percaya pada tercatatnya semua kata yg terlontar dan orang-orang yg saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran.

Tentang peserta rapat, yg menghidupkan suasana dengan celetukan segarnya, dengan sautan spontannya, dengan pertanyaan cerdasnya, dengan kritik tajamnya, semua berperan meski lewat tatapan matanya. Mengamati dalam diam, mencatat beberapa kata penting, membenarkan posisi duduk yg semakin tenggelam dalam empuknya kursi, berjuang melawan kantuk yg seakan terus mengekpansi, sesekali menggaruk kepala yg tidak gatal, mencuri pandang pada seseorang yg telah menyita perhatiannya, ah yg terakhir itu hanya karanganku saja kawan, jangan percaya. Dan kau akan tetap percaya itu benar, melihat pipiku yg memerah padahal tak sekalipun aku pernah memakai perona pipi.

Kawan, aku ingin sedikit beringsut mendekatkan diriku ke jendela kereta ini, menjauh darimu. Aku ingin melihat langit yg luasnya meliputi hatiku dan hatimu. Langit yg kau curahkan semua beban dan keluh kesah ketika tak seorangpun mendengarkanmu atau ketika memang hanya dirimulah yg boleh tau. Kawan, kalau memang bahagia itu harus berpura-pura, maka ketika kau ingin berkata sejujurnya, kau harus siap menjadi tidak bahagia, karena kau tidak bisa mengendalikan sesuatu yg di luar kuasamu. Satu-satunya yg bisa kau kendalikan adalah, hatimu.

Sampai mana ceritaku tadi kawan, sudah tentang peserta dan jalannya rapat, sudah juga tentang konsumsi, tentang aku juga sudah, kecuali tentang paparazzi yg mengambil fotoku diam-diam yg tidak sengaja sedang duduk bersebelahan dengan seseorang teman lama. Kalau boleh aku memilih kawan, aku ingin gambar yg diambil tentangku adalah dengan dirimu. Dengan orang yg dalam diamnya, menatapku sambil tersenyum, dalam diamnya pula. Mengkhawatirkanku dengan sikap tak pedulinya. Menjagaku dengan tak melepas pandangannya sedetikpun dariku. Tapi sayang, perjalanan ini sudah mau selesai kawan, sudah melewati Stasiun Pekalongan, sejam lebih mungkin aku akan sampai tujuan, dan berpisah.

Aku akan ceritakan inti semua ceritaku sekarang, kawan. Tentang latar belakang aku ingin tetap terjaga meski efek obat yg membuatku harus sesekali memejamkan mata, tentang keinginanku untuk tetap mencatat setiap kata yg ku tangkap meski banyak  yg terlewat karena kemampuan fokusku terbagi dengan pergulatan melawan sergapan demam, tentang berusaha menampik gelapnya malam ketika aku harus berjalan sendiri sepulang rapat itu, aku hanya punya satu alasan..
Aku tidak mau kesempatan rapat yg mahal ini, mahal waktu dan biaya, hanya terlewatkan begitu saja tanpa hasil. Setidaknya 13 halaman notes yg penuh coretan, menjadi bagian kecil output yg telah aku hasilkan. Jadi, perasaan berbuat sia-sia, mengamburkan uang rakyat, tidak berbekas di hatiku, aku setidaknya telah berusaha dengan kapasitasku saat ini. Untuk esok dan selanjutnya, pembelajaran terus menerus dan peningkatan kompetensi, menjadi suatu keharusan. Dan seperti yg ku dengar dari bapak pemimpin rapat, tentang rapat selanjutnya, dimana anak-anak baru yg akan berbicara kelak, aku harus sudah siap untuk itu. Meski aku mengakui kawan, kalau diri ini sangat tidak pandai berbasa basi, bahkan untuk menyampaikan kesan pesan terakhir penutup rapat itupun aku mengunci mulut erat-erat dan memilih untuk menuliskan kata ini dalam notes ku, jadi kamu harus menulis mik, tentang apa yg kamu rasa dan apa yg kamu dapat dari kegiatan itu.
Kemudian aku mulai gelisah dengan beberapa menit terakhir kebersamaan kita, kalau bisa meminta, biarkan sedikit lebih lama.
Tentang apa yg aku rasa, aku simpulkan dalam tiga kata yg salah satunya lagi-lagi aku kutip dari bapak pimpinan rapat yg masih berusaha aku pahami karakternya, yaitu ownership, sense of belonging, saat dimana kau dipedulikan dan harus mulai peduli..
Saat dimana aku punya rumah baru, keluarga baru, yg harus aku berikan dan memberikanku hak dan kewajiban di sana..
Saat dimana aku harus mulai mengenal masing-masing pribadi termasuk dirimu, agar nantinya aku tau sikap mana yg harus aku ambil ketika berinteraksi, lelucon mana yg harus aku lontarkan, mimik muka mana yg harus aku tampilkan, pada akhirnya aku akan berusaha setulus mungkin mulai memberi ruang di hatiku untuk lingkungan baru ini, untukmu..
Seperti yg pernah aku tulis sebelumnya kawan, kau sudah harus membacanya,  tentang do what you love but better love what you do..mencintai sesuatu yg baru kau temui..

Klakson panjang telah berbunyi kawan, suara pengumuman di stasiun tentang kedatangan kereta telah terdengar, jelas, sangat jelas kita harus cukupkan sampai di sini. Mungkin kau bisa mengantarku sampai ke rumah, atau kau akan tetap di kursimu melanjutkan perjalanan bersama dengan cerita orang lain, itu pilihanmu, kawan. Yg pasti aku sudah cukup bahagia dengan beberapa saat kebersamaan kita di atas kereta ini, saat dimana kita tetap bersama beriringan bersisian menuju satu tujuan meski kadang dalam keterpaksaan..
Sampai bertemu di kereta lainnya, semoga saat bertemu nanti kau akan tetap menjagaku tapi tidak lagi dalam diam mu..

with all my weakness, untuk semua yg berjuang dengan peran masing masing, demi Indonesia..
24012015, endless ride..




#sedikit snap shoot dari raker kemarin, untuk kamu yg telah bersabar membaca cerita ini sampai selesai..
Terima kasih..
Raker hari pertama, dresscode seragam batik biru, suka!

Pak Kasuubbag Jabatan Fungsional III, talking about capaian 2014

para pimpinan, dan pemimpin rapat (tengah, kuning), raker hari kedua

last slide, 20.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar