Musim haji berikutnya, Musha’ab bin Umair bersama
dengan sejumlah besar kaum muslimin (berjumlah 70 laki-laki dan 2 wanita)
kembali ke Makkah dengan cara menyusup di antara kaum musyrik yg pergi haji.
Mereka berencana pada malam harinya bertemu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam di lembah pinggir Aqabah untuk baiat. Saat sudah berkumpul di lembah
Aqabah, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian meminta 12 orang
sebagai wakil (niqab) dari masing-masing kabilah. Kemudian di depan 9 orang
niqab dari kabilah Khazraj dan 3 orang dari kabilah Aus, Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Selaku pemimpin dari masing-masing kabilahnya, kamu memikul
tanggungjawab atas kabilahnya sendiri-sendiri sebagaimana kaum Hawariyin (12
orang murid nabi Isa as) bertanggungjawab atas keselamatan Isa putra Maryam.
Adapun aku bertanggungjawab atas kaumku sendiri (yakni kaum muslimin di
Makkah).
Orang yg pertama membaiat adalah Barra’ bin
Ma’rur, tetapi Abul Haitsam bin Taihan menyela disaat Barra’ masih berbicara.
Haitsam mengatakan jika mereka akan memutuskan perjanjian dengan orang Yahudi.
Lalu ia bertanya apakah Rasululloh akan meninggalkan mereka jika Rasululloh
menang perang. Dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum kemudian
menjawab :
“Darahmu adalah darahku, negerimu adalah negeriku. Aku darimu dan kamu
dariku, aku berperang melawan siapa saja yg memerangimu dan aku akan berdamai
dengan siapa saja yg berdamai denganmu”.
Setelah semua selesai, Abbas bin Ubadah bin
Niflah bertanya “Demi Alloh yg mengutusmu membawa kebenaran, jika engkau suka,
kami siap menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami esok hari”
Tetapi Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kita belum
diperintahkan untuk itu, tapi kembalilah kamu ke tempat perkemahanmu.”
Pada
pagi harinya, kaum Quraisy datang ke rombongan itu, mereka mendengar tentang
adanya baiat yg dilakukan. Tetapi orang musyrik yg bersama dengan rombongan itu
menyatakan kalau itu tidak benar. Terjadi miskomunikasi antara mereka awalnya,
tapi setelah rombongan meninggalkan Mina barulah kaum Quraisy sadar apa yg
terjadi. Mereka mengejar kemudian berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah dan
al-Mundzir bin Amr, tetapi kemudian al-Mundzir berhasil lolos. Ketika Sa’ad
diseret-seret, datang salah satu dari mereka yg bertanya apakah Sa’ad memiliki
kawan Quraisy yg memiliki perjanjian untuk memberikan hak perlindungan
dengannya. Sa’ad pun menjawab kalau ia mempunyai 2 kawan Quraisy. Lalu setelah
dipanggil keduanya, maka Sa’ad dibebaskan.
Kemudian terdapat
Bai’atul Harbi yaitu baiat untuk berperang. Baiat ini dilakukan tepat ketika
Alloh mengizinkan rasul-Nya untuk berperang. Ubadah bin Shamit berkata, “Kami berbaiat kepada Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam pada Bai’atul Harbi untuk mendengar dan setia, baik waktu
susah maupun senang, tidak akan berpecah belah, akan mengatakan kebenaran
dimana saja berada, dan tidak akan takut kepada siapapun di jalan Alloh”.
Kemudian ayat pertama yg mengizinkan perang adalah dalam surah al-Hajj (22) :
39-40.
Beberapa Ibrah..
Ada dua perbedaan terkait baiat Aqabah satu dan dua, yaitu:
1. Dari segi jumlah, pada baiat pertama jumlah orang yg berbaiat
adalah 12 orang laki-laki. Sedangkan pada baiat kedua terdapat 70 laki-laki dan
2 wanita (Nasibah binti Ka’ab dan Asma’ binti Amr bin ‘Addi).
2. Baiat pertama tidak menyebutkan masalah jihad karena memang belum ada
yg mengharuskan adanya jihad dalam bentuk perang, selain itu belum ada izin
dari Alloh. Sedangkan baiat yg kedua sudah ada istilahnya ‘embrio’ masalah
jihad. Dikatakan embrio karena belum terang-terangan ada syariat untuk jihad
dengan kekuatan ataupun qital (peperangan), sehingga baiat itu hanya awal atau
landasan untuk berjaga-jaga saat Rasululloh ada di Madinah nanti, jadi setelah
Rasululloh hijrah.
Nah sebenarnya mengapa qital baru diizinkan setelah Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah? Ada dua hikmah, yaitu :
1. Diperlukannya pengenalan islam terlebih dahulu, seruan-seruan
kepadanya, yg hal ini meruapakan tahap awal sebelum jihad. Memperkenalkan islam
merupakan fardhu kifayah yg semua kaum muslimin sama-sama bertanggungjawab
terhadap hal ini.
2. Alloh tidak akan mengizinkan sesuatu jika tidak ada kebaikan di
dalamnya. Itulah mengapa Alloh tidak mewajibkan qital sebelum hijrah ke
Madinah, karena kaum muslimin belum memiliki Darul Islam sebagai tempat untuk
mempertahankan diri. Barulah setelah hijrah ke Madinah, maka umat islam
memiliki Darul islam yaitu Madinah.
Penjelasan Umum
tenang Jihad dan Pensyariatannya
Pengertian Jihad adalah mengerahkan segala upaya untuk meninggikan
kalimat Alloh dan menegakkan masyarakat islam. Sasarannya adalah untuk
menegakkan masyarakat islam dan mendirikan negara islam yg benar.
Tahapan-tahapan jihad :
1.
Pada masa awal islam, dakwah dengan cara damai
tetapi harus disertai kesiapan menghadapi berbagai kesengsaraan dan cobaan yg
berat.
2.
Permulaan
hijrah, disyari’atkan “perang defensif” yaitu membalas kekuatan dengan kekuatan
serupa.
3.
Setelah itu disyari’atkan qital kepada orang yg
menghalangi penegakkan masyarakat islam. Karena tidak akan mungkin terciptanya
masyarakat islam yg sehat jika ada orang-orang yg tidak menerima islam di dalam
masyarakat tersebut. Tetapi kalaupun orang-orang tersebut mau untuk tinggal
bersama kaum muslimin, mereka harus membayar jizyah kepada negara seperti
halnya zakat yg dibayar umat islam.
Sebenarnya penyebutan jihad sebagai perang defensif ataupun ofensif
itu tidak tepat karena intinya memang bukan untuk mempertahankan ataupun balik
menyerang (walaupun itu wajar bukan). Jihad
merupakan kebutuhan pengakuan masyarakat islam terhadap sistem dan
prinsip-prinsip islam, dan qital adalah salah satu bagiannya. Tetapi tetap
saja ada pihak-pihak yg sengaja memasukkan kesalahan-kesalahan ke dalam
pengertian jihad. Ada dua modus yg terlihat bertentangan tetapi sebenarnya
tujuannya sama, menghapuskan syari’at jihad.
1. Modus yg menyatakan bahwa islam disebarkan dengan pedang.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat menggunakan kekerasan dan
pemaksaan, bukan dengan persuasi dan pemikiran.
2. Sebaliknya, modus selanjutnya adalah dengan mengatakan bahwa islam
adalah agama perdamaian dan cinta. Lho emang salah ya? Sebentar, nanti ada
penjelasannya kok. Dengan dikoar-koarkannya islam sebagai agama damai maka umat
islam cenderung diam saja, bahkan istilahnya damai-damai saja jika
sekililingnya penuh maksiat asalkan ia tidak diganggu. Padahal inti jihad itu
ada pada mengatakan kebenaran dimana saja ia berada, tidak ada sangkut pautnya
dengan diganggu atau diserang terlebih dahulu.
Tetapi memang demikianlah keinginan orang-orang yg tidak menginginkan
semangat jihad ada di dalam jiwa kaum muslimin. Sedemikian rupa membuat seolah
jihad itu kejam, di satu sisi membuat jihad itu menjadi tidak wajib
dilaksanakan. Melalui berbagai pengantar dan sarana yg memang sudah dikaji
secara cermat, mereka ingin mematikan semangat perjuangan dan menghapuskan
urgensi jihad dari dada kaum muslimin.
Dalam kitab Atsarul Harbi fil-Fiqihil Islam karangan Dr.Wahbah
az-Zuhaili terdapat pernyataan orientalis inggris yg terkenal, Anderson.
“Orang-orang barat, terutama Inggris, takut akan munculnya pemikiran jihad di
kalangan muslim yg akan mempersatukan mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Karena itu orang-orang barat selalu berusaha menghapuskan pemikiran jihad ini”.
Jelas sudah apa yg sebenarnya harus dilakukan oleh umat muslim. Sangat
diperlukan kesadaran tentang pentingnya jihad, tidak perlu dengan hal-hal besar
yg di luar kemampuan, bahkan sekedar mengingatkan saudara atau teman kita untuk
tidak makan dan minum sambil berdiri itupun sudah termasuk jihad. Mulai dari
hal sepele, hal kecil, tetapi jika kesalahan-kesalahan kecil itu dibiarkan
terus menerus akan menimbulkan mudharat yg lebih besar.
Maaf jika
banyak kekurangan, kebenaran hanya milik Alloh semata..
sumber : Sirah Nabawiyah Dr. Sa'id Ramadhan al-Buthi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar