Rabu, 13 Maret 2013

Hukum-hukum dan pelajaran yg berkaitan dengan Perdamaian Hudaibiyah

 
Dirangkum dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press halaman 348-353

1. Meminta bantuan kepada non muslim bukan dalam keadaan perang
Meminta bantuan ini boleh saja tergantung situasi dan kondisi orang yg dimintai pertolongan, harus yakin kalau orang tsb dapat dipercaya. Kemudian boleh untuk masalah perdamaian, pokoknya bukan dalam keadaan perang. Contohnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Basyar bin Sufyan seorang musyrik dari kabilah Khuza’ah sebagai intel untuk meminjam senjata (jadi tidak untuk perangnya).

2. Tabiat syura dalam Islam
Semua tindakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharusan diadakannya syura dan pemimpin harus memegang prinsip ini. Syura dilaksanakan untuk memperoleh pandangan kaum Muslimin tentang suatu hal, lalu jika sudah kuat dasar dalil dan hukum syariatnya maka pandangan tersebut boleh diambil. Namun syura pun harus tunduk kepada hukum wahyu seperti Al Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Seperti dalam kisah ini, awalnya Rasululloh meminta pendapat dari sahabatnya kemudian Abu Bakar berkata “Sesungguhnya engkau, wahai Rasul Alloh, keluar hendak melaksanakan thawaf di Ka’bah. Berangkatlah saja! Siapa yg menghalangi maka kita akan perangi.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui dan berangkat bersama sahabat-sahabatnya, namun di tengah perjalanan unta beliau tidak mau berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa Rasululloh harus berhenti dan meninggalkan pendapat hasil syura.

3. Tabarruk dengan bekas pakai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Urwah bin Mas’ud menggambarkan sikap para sahabat yg begitu mencintai Rasululloh, ada dua pelajaran penting tentang hal ini. Pertama, tidak mungkin beriman kepada Rasululloh tanpa mencintainya. Cinta pun tidak hanya di pikiran, tapi jauh sampai lubuk hati terdalam dan membentuk kepribadian. Kedua, tabarruk (mencari berkah) dengan bekas pakai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yg disyari’atkan. Dalam beberapa hadis sahih disebutkan bahwa sahabat pernah tabarruk dengan rambut, keringat dan sisa air wudhu serta ludah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. (tapi hal ini tentunya terkecuali hanya untuk Rasululloh, karena tak ada manusia mana pun yg bisa dibandingkan dengan beliau)

4. Hukum berdiri terhadap orang yg duduk
Sikap berdiri kepada orang yg duduk merupakan bentuk penghormatan yg dilakukan orang asing dan diingkari Islam. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa ingin dihormati orang dengan berdiri maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Namun kemudian hal ini dikecualikan untuk kondisi khusus. Ketika ada utusan yg menemui Rasululloh maka Mughirah bin Syu’bah yg mengawal Rasululloh dengan membawa pedang boleh berdiri untuk menunjukkan izzah islamiyah, kemuliaan sang imam, dan melindungi dari segala kejahatan.

5. Disyariatkan perjanjian damai antara kaum muslimin dan musuh mereka
Dengan adanya perdamaian Hudaibiyah ini menjadi dasar bolehnya berdamai dengan musuh dalam kurun waktu tertentu, dengan atau tanpa mendapat ganti rugi. Yg tidak diperbolehkan adalah jika kaum muslimin harus membayar harta, karena ini akan merendahkan martabat kaum muslimin di hadapan musuh. Terkecuali kalau benar-benar mendesak, darurat, dan tidak ada jalan lain.

6. Pembatasan waktu perjanjian damai.
Imam Syafi’i, Ahmad, dan sejumlah imam lainnya berpendapat bahwa perjanjian damai tidak boleh lebih dari 10 tahun. Karena Rasululloh mengadakan perjanjian damai dalam kurun waktu sedemikan.

7. Syarat dalam mengadakan perjanjian damai.
Ada dua syarat yaitu syarat sah dan syarat batil. Syarat sah adalah setiap syarat yg tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi. Contohnya, mensyaratkan pihak musuh membayar harta atau mengembalikan orang muslim yg datang kepada mereka atau menjamin keamanannya. Sedangkan syarat batil yaitu syarat yg bertentangan dengan hukum syariat yg ada. Misalkan mensyaratkan untuk mengembalikan wanita-wanita muslimat kepada musuh atau memberikan sebagian senjata/harta. Hal ini syarat yg dilarang karena Rasululloh tidak mau mengembalikan wanita-wanita muslimat yg datang. Meskipun mungkin ini dianggap melanggar aturan perjanjian tetapi dalam perjanjian pun tidak dikatakan secara eksplisit untuk mengembalikan wanita, bahkan mungkin hanya berlaku untuk laki-laki. Hal ini juga sudah diatur dalam Al Qur’an.

8. Hukum Ihshar (membatalkan) penunaian haji dan umrah.
Rasululloh melakukan tahallul, menyembelih kurban, dan bercukur setelah menyelesaikan perjanjian damai. Hal ini menunjukkan bahwa orang yg membatalkan haji karena suatu halangan dibolehkan tahallul dengan menyembelih kambing di tempat pembatalannya, mencukur rambut, dan berniat tahallul baik haji atau umroh. Amalan ini menunjukkan bahwa orang yg bertahallul tidak diwajibkan mengqadha’ haji atau umrohnya apabila merupakan haji atau umroh sunnah (bukan haji/umroh pertama kali).
 
Wallahu’alam..kebenaran hanya milik Alloh subhanahu wa ta’ala..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar