And here we go, hari kelima, gue dan si cinta menjangkau tempat kami mengumpulkan serpihan serpihan penyambung hidup, by using commuter line, KRL (Kereta Listrik).
Gue dulu, kira kira lima tahun-an yg lalu, ngerasa naik KRL nggak akan ada di kamus hidup gue. Boro boro bayangin harus bergantung pada ular besi itu, mikirin caranya bisa naik aja gue udah males nggak ketulungan.
Pernah waktu main ke kampus dan kondisinya saat itu udah magang di kantor sekarang, tranportasi termudahnya ya KRL. Mudah? Ya saat itu gue bilang mudah karena gue cuma ngekor temen, which means temen gue yg mikir rutenya dan semua how to get the train, how to reach the station, karena gue buta banget soal KRL, dan nggak mau membuka mata emang.
Udah nyerah duluan ngeliat rute yg dihiasi berbagai warna saling silang menyilang, sebenernya itu buat membedain sih dan nggak susah nelusurinnya, cuma emang dasarnya males mau gimana lagi, haha nggak bener.
Setelah itu seinget gue nggak pernah lagi nyentuh KRL.
Until now, gue dipertemukan dengan pangeran yg tiap hari gonta ganti kendaraan beroda banyak, nggak tanggung-tanggung kan, bukan lagi gonta ganti roda empat, itu mah lewat, haha.
keramaian di Stasiun Manggarai, selalu ramai! |
Dan di sinilah gue, genap di hari kelima, berangkat jam 5.15 dini hari dari rumah dan pulang dengan penuh perjuangan karena harus uyel-uyelan di kereta. Karena ya gimana lagi, kalau nggak gitu entah jam berapa gue sampe rumah, kalo udah gitu rasanya tinggal blek di kasur dan si cinta terabaikan. Alhamdulillah-nya, dia ngerti banget, kelewat baik malah, nggak pernah komplain-in princiss-nya yg kebo banget ini, huhu maapkeun.
Maka kami yeah bergelut dengan dunia perkereta-an hampir tiap hari. Kenapa hampir tiap hari, nggak saban hari? Karena selain kita kerja cuma lima hari, kadang kalo pas princiss ini males berdiri maka gue minta-lah si cinta buat ngojekin gue ke kantor.
Ada dua pertanyaan, gue berdiri di kereta? dan gue ke kantor naik motor?
The answer is yes.
Dengan jarak 30,8 km, abis ngintip di google maps, naik KRL dari stasiun terdekat dengan rumah menuju kantor, selama kurang lebih satu jam gue, seorang putri yg uwow ini BERDIRI. Ya nggak papa, latihan kekuatan otot kaki, perasaan selama ini juga gue jalan tuh sekilo tiap hari, huhu.
Kenapa berdiri? Karena untk mendapatkan tempat duduk, Anda harus berperang terlebih dahulu dengan puluhan penumpang lainnya. Fight for your seat! Semboyan gue sama si cinta sekarang, ha!
Lucunya selama ini, dia nggak pernah itu ikut perang rebutan kursi, padahal untuk orang dengan postur setinggi dia dan se-strong dia, uhuk, nggak susah tuh sikut kanan sikut kiri buat dapet tempat duduk. But he does not ever do that, nggak pernah kayak gitu. Selain karena nggak banget lah laki-laki sikut sikutan sama perempuan, dia juga ngerasa ada yg lebih berhak buat duduk.
Miris sih selama ini banyak liat pemuda pemuda yg duduk ayem tentrem sementara di depannya ada ibu-ibu atau let's say kaum hawa, berdiri kesusahan di depan matanya.
Gue nggak mau berdebat masalah apa lah itu emansipasi, karena gue nggak menganut paham itu, agama gue ngajarinnya kalau setiap laki-laki maupun perempuan memiliki perannya sendiri dalam kehidupan dan punya arti masing-masing. Tapi ini kondisinya masa iya sih tega seorang laki-laki gitu? Walaupun keliatannya mereka ngerasa bener, tapi kenapa mereka harus pura-pura tidur pura-pura nggak ngeliat perempuan yg berdiri di depannya? Kenapa mereka harus pake penutup muka, terlepas alasan-alasan lain ya?
Ya sudah, biarin aja, yg pasti gue bangga sama si cinta yg nggak terseret mikirin ego pribadi ketimbang empati.
Jadi jawaban dari pertanyaan, gue berdiri di kereta? Adalah, ya, sering kali berdiri, kecuali memang faktor rezeki anak sholehah dan dikasih tempat duduk oleh kaum adam yg masih memiliki jiwa kelelaki-annya, ha! Selebihnya, sudah dipastikan gue berdiri.
Next, pertanyaan kedua, gue ke kantor naik motor?
Pas awal awal, masih semangat semangatnya menantang dunia, yes, kami berdua naik motor ke kantor. Dengan jarak 36,1 km, melewati 20 titik kuning, 5 titik merah, dan 2 titik merah tua, itu titik titik indikator kemacetan, dan gue nggak sanggup nyeritain tingkat kemacetan itu.
Singkatnya, kalo elu udah bisa naik motor/mobil di Jakarta, elu mau dibuang dimanapun bakal tetep survive. Asli.
Tapi, itu beneran capek, lahir batin.
Hampir dua jam, fokus gue terbagi menjadi empat dan itu semua dalam mode siaga. Fokus pertama ke jalan, fokus ke dua nahan ngantuk, kebo emang, fokus ketiga ke kendaraan belakang, diseruduk kan matik pertama gue, dan fokus ke empat kalo gue lagi bawa barang.
Nggak kebayang deh rasanya, padahal kan gue cuma bonceng, haha. Tapi kami putuskan untuk udah deh naik motor, nggak bagus juga buat tulang belakang, meskipun naik kereta juga bukan pilihan yg lebih baik mengingat banyaknya masalah infrastruktur dan sistem yg masih belum clear. Ya semoga aja makin terus berbenah deh perkereta-apian Indonesia.
dan mendung-pun menyapa.. |
Senin, 2 Mei 2016
Dan sepekan sudah gue dan si cinta ngeroker, nge-rombongan kereta. Banyak cerita, banyak tipe penumpang, banyak fenomena, yg semua itu jadi pembelajaran dan perenungan tersendiri buat gue. Next insyaAlloh gue share ya..
Ah iya, happy one month wedding dear my husband, may Alloh always be with us, trough our happiness and sadness, aamiin :)
my only.. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar