Ini ceritanya dapet giliran buat kultum
di liqo’..dapetnya tentang perang khandaq. Sebenernya lumayan ngerti lah garis
besarnya secara dari balita udah dicekokin sama bokap -,-
tapi ya coba bikin deh
rangkumannya..namanya rangkuman ya cuma rangkuman..kalo mau lebih jelas ya baca
Sirah Nabawiyah.nya.......selamat membaca :D
eits tapi setelah menimbang-nimbang
ternyata banyak hal yg nggak bisa di-skip..terlalu keren sih..jadinya maklum ya
klo masih puanjang >,<
Dirangkum dari buku Sirah Nabawiyah
karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur
Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press halaman 306-322.
Perang Khandaq
Perang Khandaq, dinamakan juga perang
Ahzab. Terjadi bulan Syawwal tahun ke-5 H (menurut Ibnu Ishaq, Urwah bin
Zubair, Baihaqi dan jumhur Ulama). Ada juga yang mengatakan tahun ke-4 H
(menurut Musa bin Uqbah kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan diikuti oleh
Malik)
Sebabnya: beberapa pemimpin Yahudi dari Bani
Nadlir berangkat ke Mekkah untuk mendorong kaum Musyrikin Quraisy melancarkan
perang terhadap Rasulullah saw (cek QS an-Nisa 51-52). Maka mereka bersepakat
bersama kaum Musyrikin Quraisy untuk memerangi kaum Muslimin. Kemudian para
pemimpin Yahudi itu mendatangi suku Ghathafan dan berhasil mewujudkan
persekutuan dengan mereka. Turut bergabung pula Bani Fuzarah dan Bani Murrah
yang selama itu menyimpan dendam kesumat terhadap Islam.
Setelah Rasulullah saw mendengar berita
tsb, beliau meminta pandangan para sahabatnya. Salman al-Farisi mengusulkan
supaya digali parit di sekitar kota Madinah. Kaum Muslimin mengagumi usulan ini
dan menyetujuinya, kemudian bersama Rasulullah saw kaum Muslimin keluar dari
kota Madinah dan berkemah di lereng gunung Sila dengan membelakanginya. Mereka
mulai menggali parit yang memisahkan mereka dengan musuh mereka. Waktu itu
jumlah kaum Muslimin sebanyak 3000 sedangkan kaum Quraisy bersama
kabilah-kabilah lain berjumlah 10.000.
Gambaran kerja kaum Muslimin dalam
menggali parit: Imam
Bukhari meriwayatkan dari Barra ra, ia berkata: Pada waktu perang Ahzab saya
melihat Rasulullah saw menggali parit dan mengusung tanah galian sampai saya
tidak dapat melihat dada beliau yang berbulu lebat karena tebalnya tanah yang
melumurinya. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa kaum Anshar dan Muhajirin
menggali parit dan mengusung tanah galian seraya mengucapkan : "Kami
adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad untuk setia kepada Islam
selama kami masih hidup.“
Ucapan ini dijawab oleh Rasulullah saw :
"Ya, Allah sesungguhnya tiada kebaikan kecuali kebaikan akherat maka
berkatilah kaum Anshar dan Muhajirin.“
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam
Shahih-nya dari Jabir ra, ia berkata: Ketika kami sedang sibuk menggali parit
di Khandaq kami temukan sebongkah batu besar yang sukar untuk dipecahkan. Para
sahabat melapor kepada Nabi saw: “Sebongkah batu menghambat kelancaran kami
dalam penggalian Khandaq”. Kata Nabi saw: "Biarkan aku yang turun”
Kemudian beliau segera bangkit, sedang perut beliau diganjal dengan batu.
Sebelumnya kami tidak pernah merasakan makanan apa pun selama tiga hari. Nabi
saw segera mengambil martil dan dipukulkannya di atas batu itu hingga hancur
berupa pasir.
Melihat perut Nabi saw seperti itu, Jabir
meminta izin untuk pulang ke rumah mengecek adakah makanan yg bisa disajikan.
Ternyata ada gandum dan seekor anak kambing, kemudian anak kambing itu segera
disembelih dan gandum itu ditumbuk. Sebenarnya tidaklah cukup makanan itu, tapi
Nabi saw meyakinkan dan berkata kepada Jabir untuk tidak mengeluarkan
makanannya dari tempatnya. Kemudian Nabi saw memanggil kaum Muhajirin dan
Anshar untuk makan di tempat Jabir. Nabi saw memotong-motong roti dan
dicampurkan pada daging serta kuah yang ada di periuk. Kemudian beliau
membagikan kepada para sahabat sedang beliau tetap memotong-motong roti itu dan
dalam waktu yang bersamaan para sahabat makan dengan puas sampai kenyang. Di
dalam riwayat lain Jabir menuturkan: “Aku bersumpah dengan nama Allah. Mereka
telah makan hingga mereka pergi dan meninggalkan daging di dalam periuk kami
masih tetap utuh, demikian pula roti kami.”
Sikap orang-orang Munafiq dalam
penggalian Khandaq: Ibnu Hisyam
meriwayatkan bahwa orang-orang munafiq merasa enggan dalam mengerjakan penggalian
parit bersama Nabi saw dan kaum Muslimin. Mereka sengaja menampakkan diri
seperti orang lemas dan tidak memiliki kemampuan. Bahkan banyak yang melarikan
diri ke rumah tanpa sepengetahuan Rasulullah saw. Sedangkan setiap orang dari
kaum Muslimin apabila mempunyai keperluan, ia pasti meminta izin kepada
Rasulullah saw dan kembali lagi melaksanakan tugas penggaliannya. Berkenaan
dengan sikap ini Allah menurunkan firman-Nya dalam Surah An-Nur : 62.
Bani Quraidlah melanggar Perjanjian: Huyay bin Akhthab pergi mendatangi Ka‘ab
bin Asad al-Qardli, mengajaknya untuk melanggar perjanjian yang telah
disepakati bersama Rasulullah saw. Awalnya Ka’ab menolak, tetapi karena terus
didesak ia pun akhirnya setuju.
Setelah mendengar berita ini Rasulullah
saw segera mengutus Sa‘ad bin Muadz untuk menyelidikinya. Kepadanya Nabi saw
berpesan agar berbicara kepada Huyay dengan bahasa kiasan yang difahaminya jika
berita itu benar, dan agar tidak memberikan peluang kepada orang banyak untuk
menggunakan kekuatannya. Jika berita ini tidak benar maka hendaknya segera
diumumkan kepada khalayak ramai. Setelah melacak berita dan ternyata berita itu
benar maka Sa‘ad pun segera kembali kepada Rasulullah saw melaporkannya, “Ya,
mereka telah melanggar perjanjian sebagaimana suku Adhal dan Qarah.” Lalu
Rasulullah saw mengatakan : "Allah Maha Besar, bergembiralah wahai kaum
Muslimin.”
Keadaan kaum Muslimin pada waktu itu: Musuh datang dari segala penjuru arah.
Bani Quraidlah melanggar perjanjian, Munafiqin pun menyebarkan bibit-bibit
keraguan dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Salah seorang dari kaum
Munafiq itu berkata: “Dulu Muhammad menjanjikan bahwa kita akan memakan harta
kekayaan Kisra dan Kaisar, tetapi sekarang untuk pergi membuang hajat pun kita
tidak aman.”
Melihat keadaan kaum Muslimin yang
semakin terancam ini maka Rasulullah saw meminta pandangan Sa‘ad bin Muadz dan
Sa‘ad bin Ubadah untuk melakukan perdamaian dengan kabilah Ghathafan dengan
memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah agar mereka bersedia untuk tidak
ikut memerangi kaum Muslimin.
Tetapi keduanya bertanya apakah ini
perintah Allah atau sekedar kebijaksanaan untuk meringankan mereka. Setelah tau
kalau hanya sekedar kebijaksanaan, Sa‘ad bin Muadz berkata kepada Nabi saw,
“Demi Allah, kita tidak perlu mengambil langkah itu. Demi Allah kami tidak akan
rela memberikan sesuatu kepada mereka selain daripada pedang sampai Allah
memutuskan sesuatu antara kami dan mereka.” Setelah mendengar ucapan Sa‘ad bin
Muadz ini wajah Rasulullah saw kelihatan berseri dan berkata kepadanya: “Engkau
dapat yang engkau inginkan”
Di lain sisi, kaum Musyrikin dikejutkan
oleh parit di hadapannya. Mereka berkata, bahwa itu tipu daya yang tidak pernah
dilakukan oleh bangsa Arab. Kemudian mereka mengambil posisi dan berkemah di
sekitar parit mengepung kaum Muslimin. Tetapi tidak terjadi pertempuran kecuali
beberapa orang Musyrik yang berusaha menyeberangi parit di suatu sudut yang
sempit dan berhasil dicegat oleh kaum Muslimin. Dalam usaha ini sebagian mereka
kembali dan sebagian yang lain terbunuh. Di antara orang Musyrik yang terbunuh
itu terdapat Amer bin Wudd. Ia dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.
Kekalahan kaum Musyrikin tanpa
peperangan: Allah memberikan
kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang Khandaq ini tanpa melalui
pertempuran. Allah mengalahkan mereka dengan dua sarana yang tidak melibatkan
kaum Muslimin sama sekali. Pertama, dengan seorang lelaki dari kaum Musyrikin
bernama Nu‘aim bin Mas‘du, yang datang kepada Nabi saw menyatakan diri masuk
Islam yang kemudian menawarkan diri kepada Nabi saw untuk melaksanakan segala
bentuk perintah yang diinginkan oleh Nabi saw. Lalu Nabi saw memberikan tugas
untuk memecah kekuatan musuh.
Nu‘aim kemudian segera pergi mendatangi
orang-orang Bani Quraidlah. Nu’aim berkata pada mereka untuk tidak turut berperang
bersama-sama kaum Quraisy sebelum mendapat jaminan dari mereka berupa beberapa
orang terkemuka sebagai sandera, supaya kaum Quraisy tidak mundur meninggalkan
mereka sendirian di Madinah tanpa pembela dalam menghadapi Muhammad dan para
sahabatnya. Setelah itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy.
Kepada mereka Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas
apa yang mereka lakukan dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan
kesepakatan bersama Nabi saw untuk menculik beberapa peimpin Quraisy dan
Ghathafan untuk diserahkan kepada Nabi saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila
orang-orang Yahudi itu datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang
sebagai sandera, janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.
Nu‘aim kemudian pergi mendatangi
orang-orang Bani Quraidlah. Kepada mereka ia mengemukakan apa yang
dikemukakannya kepada orang-orang Quraisy. Demikianlah akhirnya terjadi salah
paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga masing-masing dari
mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai berkhianat.
Kedua, dengan mengirimkan angin topan
pada malam hari yang dingin dan mencekam. Angin topan datang menghempaskan
kemah-kemah mereka dan menerbangkan kuali-kuali mereka. Hal ini terjadi setelah
mereka melakukan pengepungan kepada kaum Muslimin selama sepuluh hari lebih.
Nabi saw mengutus Hudzaifah untuk melihat
keadaan musuh setelah adanya angin topan. Diriwayatkan bahwa Abu Shofyan
berkata: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat
terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang Bani
Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak
menyenangkan tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang
menghadapi angin topan yang hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku
pun akan berangkat pulang.”
Selama perang Ahzab ini berlangsung Nabi
saw tidak henti-hentinya, siang malam senantiasa beristighfar, merendahkan
diri, dan berdo'a kepada Allah untuk kemenangan kaum Muslimin. Di antara do'a
yang diucapkannya ialah :
"Ya Allah, Tuhan yang menurunkan
kitab (Al-Quran) yang Maha cepat hidab-Nya, kalahkanlah barisan Ahzab (golongan
Musyrikin). Kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.”
Pada peperangan ini Nabi saw luput satu
waktu shalat kemudian dilaksanakan (qadha’) di luar waktunya. Di sebutkan di
dalam Ash-Shahihain bahwa Umar bin Khathab ra datang, waktu perang Ahzab,
setelah matahari terbenam kemudian dia mengecam orang-orang kafir Quraisy lalu
berkata: “Wahai Rasulullah saw! Aku belum sempat shalat Ashar sampai matahari
hampir terbenam.” Nabi saw menjawab: “Demi Allah, aku sendiripun belum shalat
(Ashar)” Lalu kami berangkat ke tempat air dan berwudlu. Kemudian Nabi saw
shalat Ashar setelah matahari terbenam. Setelah itu Nabi saw melanjutkan dengan
shalat maghrib. Imam Muslim menambahkan Hadits lainnya bahwa Nabi saw bersabda
pada perang Ahzab, “Mereka (kaum Musyrikin) telah menyibukkan kita sehingga
kita tidak sempat Shalat Ashar. Semoga Allah swt memenuhi rumah-rumah dan
kuburan-kuburan mereka dengan api". Kemudian Nabi saw melaksanakan (shalat
Ashar) antara Maghrib dan Isya.
Beberapa Ibrah
1. Sarana perang yang digunakan oleh kaum
Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit, yg pertama kali
diterapkan oleh bangsa Arab. Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang
menunjukkan bahwa, “Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana
saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya daripada orang lain.” Sesungguhnya syariat Islam, sebagaimana
melarang kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga
mengajukan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan
dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam
dalam masalah ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh mengabaikan akalnya
yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam segala perilaku dan urusannya.
Dengan demikian maka dia tidak akan dapat dikuasai dan dibawa ke mana saja oleh
sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan pirnsip-prinsip
syariat Islam. Sikap yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya
muncul dari sumber utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah swt kepada
manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah
swt dan kepatuhan tehradap Hukum-hukum Syariatnya hanyalah merupakan jaminan
untuk memelihara kehormatan dan kepemimpinan tersebut.
2. Tentang kerja para sahabat bersama
Rasulullah saw dalam menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang
menjelaskan hakekat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara
seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekedar slogan yang menarik untuk mengelabui
masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar memancarkan semua nilai dan
prinsip Islam baik secara lahiriah ataupun batiniah. Rasulullah saw tidak
memerintah, tapi Rasulullah saw secara langsung berperan aktif menggali bersama
para sahabatnya sampai pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah
galian sebagaimana para sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung
ria, maka beliau pun ikut bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka.
Mereka merasakan letih dan lapar, maka beliau pun yang yang paling letih dan
lapar di antara mereka. Itulah hakekat
persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin,
antara Amir dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat Islam. Seluruh
cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan untuk menjamin
terlaksananya hakekat ini. Tetapi hal ini berbeda dengan demokrasi dalam
perilaku atau pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali
tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi. Karena sumber keadilan dan persamaan
dalam Islam ialah ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajiban seluruh
manusia. Sedangkan sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan
pendapat mayoritas atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat
tersebut. Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan
atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok
tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan
kepada Allah swt) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.
3. Pelajaran lain yaitu tentang potret
Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi saw. Pribadi Kenabiannya tampak pada
perjuangannya menghadapi rasa lapar pada saat bekerja bersama para sahabatnya,
sampai-sampai beliau mengikatkan batu pengganjal ke perutnya untuk
menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat lapar. Apakah gerangan
yang membuat beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan seperti ini?
Adakah karena ambisinya kepada kepemimpinan? Ataukah karena kerakusannya
terhadap harta kekayaan dan kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk
mendapatkan pengikut yang selalu mengawalnya setiap saat? Semua itu
bertentangan dengan penderitaan dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang
yang tamak atas kedudukan, kekuasaan atau kekayaan tidak akan tahan bersabar
menanggung penderitaan seperti ini. Yang
membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan
amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya
kepada manusia.
Sedangkan kecintaan Nabi saw kepada para
sahabatnya dapat dilihat jelas dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir
untuk menikmati hidangan yang hanya sedikit itu. Sesuatu yang mendorong Jabir
untuk mengundang Nabi saw ialah ketika melihat Nabi saw mengikatkan batu ke
perutnya karena menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di rumahnya
kecuali untuk beberapa orang, sehingga dia mengundang beberapa orang saja.
Tetapi mungkinkah Nabi saw meninggalkan para sahabatnya bekerja sambil menahan
lapar sementara dirinya bersama tiga atau empat orang sahabatnya beristirahat
menikmati hidangan? Sesungguhnya kasih sayang Nabi saw kepada para sahabatnya
lebih besar ketimbang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Nabi saw tidak
akan pernah terpengaruh oleh pandangan Jabir tersebut. Pertama, karena tidak
mungkin Nabi saw mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya dalam menikmati
hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Nabi saw menyerah kepada
faktor-faktor material dan batas-batasnya yang bisa membelenggu manusia. Tetapi
karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka mudah bagi-Nya
untuk memberkati makanan yang sedikit sehingga mencukupi orang banyak.
Demikianlah Nabi saw, memiliki pandangan bahwa dirinya dan para sahabatnya
adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa baik dalam suka
atau pun duka. Oleh sebab itu, Nabi saw menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan
makanan bagi mereka, sementara itu Nabi saw memanggil para sahabatnya untuk
menikmati hidangan besar di rumah Jabir.
Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini
ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir menjadi makanan yang banyak
dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa banyak sehingga Nabi saw
mengusulkan kepada Sahibul bait (istri Jabir) agar membaginya kepada orang
lain. Mukjizat yang mengagumkan ini dianugerahkan kepada Nabi saw sebagai
penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang
tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada
kekuasaan Allah swt, yang mutlaq. Jadi kita perlu disadari adanya dukungan
Ilahi yang diberikan kepada Nabi saw melalui sebab-sebab material. Hal itu merupakan
salah satu faktor terpenting untuk menonjolkan pribadi Kenabiannya kepada para
pengkaji dan pemangat sirah Nabi saw. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai
dalil yang kuat untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian
pada pribadi Muhammad saw.
4. Apakah hikmah musyawarah Nabi saw
kepada sebagian sahabatnya, untuk menawarkan perdamaian kepada bani Ghathafan dengan imbalan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah kepada mereka
asalkan mereka bersedia menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan
golongan-golongan lainnya? Apakah dalil Syariat yang dapat dijadikan sebagai
landasan pemikiran ini ?
Hikmahnya ialah bahwa Nabi saw mengetahui
sejauh mana para sahabatnya itu telah memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal
kepada pertolongan Allah swt pada saat menghadapi kepungan kaum Musyrikin
secara mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh bani
Quraidlah. Sudah menjadi kebiasaan Nabi saw bahwa ia tidak suka menyeret para
sahabatnya kepada suatu peperangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki
keberanian untuk memasukinya, atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini
termasuk salah satu uslub tarbiyah Nabi saw yang paling menonjol kepada para
sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau mengemukakan bahwa pandangan itu bukan
ketetapan dari Allah, tetapi sekedar pandangan yang dikemukakan dalam rangka
upaya menghancurkan kekuatan kaum Musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak
memiliki kemampuan untuk menghadapinya.
Dalil syariat yang menjadi landasan
pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu dilakukan pada masalah yang tidak
ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak
berarti bahwa kaum Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil
panen buminya kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk
menghentikan serangan. Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat
Islam bahwa tindakkan Rasulullah saw yang dapat dijadikan sebagai hujjah
(dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang telah
dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah (al-Quran). Adapun
hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam permusyawaratan) dan
dengar pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Karena
diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk menjajagi mentalitas
seperti yang kami sebutkan di atas. Yakni sebagai amal tarbawi (pembinaan)
semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan mungkin setelah itu
datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi memiliki nilai sebagai
dalil Syariat.
Tetapi para Ulama risah dalam masalah ini
telah menyebutkan bahwa Nabi saw tidak sampai menjadi mengadakan perdamaian
dengan kabilah Ghathafan. Bahkan sebenarnya Nabi saw tidak pernah memiliki
keinginan untuk berdamai dengan Bani Ghathafan. Apa yang diusulkan hanyalah
sekedar sebagai manuver dan penjajagan. Ini perlu diketahui karena ada pihak di
masa sekarang ini yang mengemukakan pendapat bahwa Kaum Muslimin harus membayar
jizyah (upeti) kepada non-Muslim manakala diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi
saw pernah meminta pandangan para sahabatnya ketika perang Ahzab untuk
melakukan hal tersebut. Usulan semata-mata yang dikemukakan dalam pembahasan
musyawarah tidak bisa dijadikan dalil.
Mungkin anda bertanya: Seandainya kaum
Muslimin terpaksa karena lemah harus melepas sebagian harta mereka demi untuk
melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan dimusnahkan semuanya, apakah
mereka tidak boleh melakukan itu ? Jawabannya, banyak sekali kondisi yang
menunjukkan betapa harta kaum Muslimin dirampas dan dijadikan barang rampasan
oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah menyerbu negeri Islam dan
menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak menerima kenyataan ini secara
suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa harus tunduk kepada
kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka senantiasa mencari dan menunggu
kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu bahwa hukum-hukum
Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang tidak dipaksa, sebagaimana
tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang gila. Oleh karena itu, adalah
keliru dan sia-sia belaka jika hukum taklif itu ditetapkan kepada orang-orang
yang berada di luar batas taklif.
5. Bagaimana dan dengan sarana apa kaum
Muslimin berhasil memetik kemenangan atas kaum Musyrikin dalam peperangan ini ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa sarana
yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini (perang Khandaq) sama dengan
sarana yang pernah digunakan dalam perang Badr. Yaitu sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang
senantiasa digunakan Rasulullah saw setiap kali menghadapi musuh di medan
jihad. Sarana yang mutlak harus digunakan oleh kaum Muslimin jika mereka
ingin memetik kemenangan. Bagaimana kaum Musyrikin yang berjumlah banyak itu
bisa terkalahkan, setelah kaum Muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan
kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt. Dapat kita baca dalam
penjelasan Allah swt di dalam firman-Nya Surah al-Ahzab : 9-25
Sesungguhnya pertolongan Allah swt yang
selalu terulang dalam peperangan-peperangan Rasulullah saw ini tidak berarti
menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan “petualangan” dan jihad tanpa
persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan bahwa setiap Muslim harus
mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang terpenting, disamping
sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan
dalam meminta pertolongan kepada Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah
hanya kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan tidak akan berguna apabila sarana ini
tidak terpenuhi secara baik. Jika sarana ini telah dipersiapkan secara memadai
oleh kaum Muslimin maka Ia (Allah swt) akan memberikan beraneka mukjizat
kemenangan.
Jika bukan karena pertolongan Allah swt
dari manakah datangnya angin topan yang memporak-porandakan tentara-tentara
Musyrikin itu sementar akaum Muslimin tenang tanpa merasakannya? Di pihak
Musyrikin angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-kuali
mereka, dan mengguncangkan hati mereka. Tetapi di pihak kaum Muslimin ia adalah
angin sejuk yang menyegarkan.
6. Pada peperangan ini Rasulullah saw
tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya menghadapi musuh sehingga beliau
mengqadha’-nya setelah matahari terbenanm. Di dalam beberapa riwayat, selain
dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat yang terlewatkan lebih dari
satu shalat, kemudian Nabi saw melaksanakannya secara berturut-turut di luar
waktunya.
Ini menunjukkan dibolehkannya mengqadha’
shalat yang terlewatkan. Kesimpulan
ini tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat
karena kesibukkan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian
dihapuskan ketika shalat khauf (shalat dalam keadaan bahaya misal perang) disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang
berjalan kaki ataupun yang berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya
benar bukan terhadap dibolehkannya mengqadha’. Ia hanya menghapuskan bolehnya
menunda shalat karena kesibukkan. Yakni penghapusan bolehnya menunda tidak
berarti juga penghapusan terhadap bolehnya mengqadha’. Dibolehkannya mengqadha’
tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan
bahwa shalat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah
dibahas ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa’.
Di antara dalil lain yang menunjukkan
bolehnya qadha' shalat ialah riwayat yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain
bahwa Nabi saw bersabda pada waktu berangkat kembali ke Madinah dari perang
Ahzab. "Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar (atau Zhuhur) kecuali
setelah sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah
waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat sebelum smapai ke
sana (Bani Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan
shalat, Beliau tidak memaksudkan itu (melarang shalat)”. Akhirnya kelompok
pertama melaksanakan shalat setelah sampai di Banu Quraidlah sebagai shalat qadha.
Kewajiban mengqadha’ shalat yang
terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena tidur, lalai atau sengaja
ditinggalkan. Karena setelah adanya dalil umum yang mewajibkan qadha’ shalat
yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadha’ ini dengan
sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan shalatnya di tengah
perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur atau lupa. Oleh sebab
itu, adalah keliru jika syariat qadha shalat yang terlewatkan ini dikhususkan
bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang
mengkhususkan qadha’ shalat dengan shalat wajib tertentu saja, tanpa landasan
syariat.
Barangkali ada sebagian orang yang
memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang mengkhususkan keumuman syariat
qadha itu: "Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau
lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.” Tetapi pemahaman
ini tidak dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan hanya
memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadha’ shalatnya, tetapi
tujuannya ialah untuk menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan ini menjelaskan bahwa orang yang
ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan tidak disyariatkan untuk menunggu
datangnya waktu shalat tersebut pada hari berikutnya. Tetapi ia harus segera
mengqadha’ pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian mafhum
mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.
semoga setelah membaca tulisan ini, bertambah keimanan kita kepada Allah swt..serta menambah semangat kita untuk meneladani Rasulullah shalallahu alaihi wassalam..
Wallahu’alam bishowab..
Kebenaran hanya milik Allah ta’ala..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar