Senin, 28 Januari 2013

resume Perang Khandaq


Ini ceritanya dapet giliran buat kultum di liqo’..dapetnya tentang perang khandaq. Sebenernya lumayan ngerti lah garis besarnya secara dari balita udah dicekokin sama bokap -,-
tapi ya coba bikin deh rangkumannya..namanya rangkuman ya cuma rangkuman..kalo mau lebih jelas ya baca Sirah Nabawiyah.nya.......selamat membaca :D
eits tapi setelah menimbang-nimbang ternyata banyak hal yg nggak bisa di-skip..terlalu keren sih..jadinya maklum ya klo masih puanjang >,<


Dirangkum dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press halaman 306-322.

Perang Khandaq

Perang Khandaq, dinamakan juga perang Ahzab. Terjadi bulan Syawwal tahun ke-5 H (menurut Ibnu Ishaq, Urwah bin Zubair, Baihaqi dan jumhur Ulama). Ada juga yang mengatakan tahun ke-4 H (menurut Musa bin Uqbah kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan diikuti oleh Malik)

Sebabnya: beberapa pemimpin Yahudi dari Bani Nadlir berangkat ke Mekkah untuk mendorong kaum Musyrikin Quraisy melancarkan perang terhadap Rasulullah saw (cek QS an-Nisa 51-52). Maka mereka bersepakat bersama kaum Musyrikin Quraisy untuk memerangi kaum Muslimin. Kemudian para pemimpin Yahudi itu mendatangi suku Ghathafan dan berhasil mewujudkan persekutuan dengan mereka. Turut bergabung pula Bani Fuzarah dan Bani Murrah yang selama itu menyimpan dendam kesumat terhadap Islam.

Setelah Rasulullah saw mendengar berita tsb, beliau meminta pandangan para sahabatnya. Salman al-Farisi mengusulkan supaya digali parit di sekitar kota Madinah. Kaum Muslimin mengagumi usulan ini dan menyetujuinya, kemudian bersama Rasulullah saw kaum Muslimin keluar dari kota Madinah dan berkemah di lereng gunung Sila dengan membelakanginya. Mereka mulai menggali parit yang memisahkan mereka dengan musuh mereka. Waktu itu jumlah kaum Muslimin sebanyak 3000 sedangkan kaum Quraisy bersama kabilah-kabilah lain berjumlah 10.000.

Gambaran kerja kaum Muslimin dalam menggali parit: Imam Bukhari meriwayatkan dari Barra ra, ia berkata: Pada waktu perang Ahzab saya melihat Rasulullah saw menggali parit dan mengusung tanah galian sampai saya tidak dapat melihat dada beliau yang berbulu lebat karena tebalnya tanah yang melumurinya. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa kaum Anshar dan Muhajirin menggali parit dan mengusung tanah galian seraya mengucapkan : "Kami adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad untuk setia kepada Islam selama kami masih hidup.“
Ucapan ini dijawab oleh Rasulullah saw : "Ya, Allah sesungguhnya tiada kebaikan kecuali kebaikan akherat maka berkatilah kaum Anshar dan Muhajirin.“

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Jabir ra, ia berkata: Ketika kami sedang sibuk menggali parit di Khandaq kami temukan sebongkah batu besar yang sukar untuk dipecahkan. Para sahabat melapor kepada Nabi saw: “Sebongkah batu menghambat kelancaran kami dalam penggalian Khandaq”. Kata Nabi saw: "Biarkan aku yang turun” Kemudian beliau segera bangkit, sedang perut beliau diganjal dengan batu. Sebelumnya kami tidak pernah merasakan makanan apa pun selama tiga hari. Nabi saw segera mengambil martil dan dipukulkannya di atas batu itu hingga hancur berupa pasir.

Melihat perut Nabi saw seperti itu, Jabir meminta izin untuk pulang ke rumah mengecek adakah makanan yg bisa disajikan. Ternyata ada gandum dan seekor anak kambing, kemudian anak kambing itu segera disembelih dan gandum itu ditumbuk. Sebenarnya tidaklah cukup makanan itu, tapi Nabi saw meyakinkan dan berkata kepada Jabir untuk tidak mengeluarkan makanannya dari tempatnya. Kemudian Nabi saw memanggil kaum Muhajirin dan Anshar untuk makan di tempat Jabir. Nabi saw memotong-motong roti dan dicampurkan pada daging serta kuah yang ada di periuk. Kemudian beliau membagikan kepada para sahabat sedang beliau tetap memotong-motong roti itu dan dalam waktu yang bersamaan para sahabat makan dengan puas sampai kenyang. Di dalam riwayat lain Jabir menuturkan: “Aku bersumpah dengan nama Allah. Mereka telah makan hingga mereka pergi dan meninggalkan daging di dalam periuk kami masih tetap utuh, demikian pula roti kami.”

Sikap orang-orang Munafiq dalam penggalian Khandaq: Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa orang-orang munafiq merasa enggan dalam mengerjakan penggalian parit bersama Nabi saw dan kaum Muslimin. Mereka sengaja menampakkan diri seperti orang lemas dan tidak memiliki kemampuan. Bahkan banyak yang melarikan diri ke rumah tanpa sepengetahuan Rasulullah saw. Sedangkan setiap orang dari kaum Muslimin apabila mempunyai keperluan, ia pasti meminta izin kepada Rasulullah saw dan kembali lagi melaksanakan tugas penggaliannya. Berkenaan dengan sikap ini Allah menurunkan firman-Nya dalam Surah An-Nur : 62.

Bani Quraidlah melanggar Perjanjian: Huyay bin Akhthab pergi mendatangi Ka‘ab bin Asad al-Qardli, mengajaknya untuk melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama Rasulullah saw. Awalnya Ka’ab menolak, tetapi karena terus didesak ia pun akhirnya setuju.
Setelah mendengar berita ini Rasulullah saw segera mengutus Sa‘ad bin Muadz untuk menyelidikinya. Kepadanya Nabi saw berpesan agar berbicara kepada Huyay dengan bahasa kiasan yang difahaminya jika berita itu benar, dan agar tidak memberikan peluang kepada orang banyak untuk menggunakan kekuatannya. Jika berita ini tidak benar maka hendaknya segera diumumkan kepada khalayak ramai. Setelah melacak berita dan ternyata berita itu benar maka Sa‘ad pun segera kembali kepada Rasulullah saw melaporkannya, “Ya, mereka telah melanggar perjanjian sebagaimana suku Adhal dan Qarah.” Lalu Rasulullah saw mengatakan : "Allah Maha Besar, bergembiralah wahai kaum Muslimin.”

Keadaan kaum Muslimin pada waktu itu: Musuh datang dari segala penjuru arah. Bani Quraidlah melanggar perjanjian, Munafiqin pun menyebarkan bibit-bibit keraguan dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Salah seorang dari kaum Munafiq itu berkata: “Dulu Muhammad menjanjikan bahwa kita akan memakan harta kekayaan Kisra dan Kaisar, tetapi sekarang untuk pergi membuang hajat pun kita tidak aman.”

Melihat keadaan kaum Muslimin yang semakin terancam ini maka Rasulullah saw meminta pandangan Sa‘ad bin Muadz dan Sa‘ad bin Ubadah untuk melakukan perdamaian dengan kabilah Ghathafan dengan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah agar mereka bersedia untuk tidak ikut memerangi kaum Muslimin.
Tetapi keduanya bertanya apakah ini perintah Allah atau sekedar kebijaksanaan untuk meringankan mereka. Setelah tau kalau hanya sekedar kebijaksanaan, Sa‘ad bin Muadz berkata kepada Nabi saw, “Demi Allah, kita tidak perlu mengambil langkah itu. Demi Allah kami tidak akan rela memberikan sesuatu kepada mereka selain daripada pedang sampai Allah memutuskan sesuatu antara kami dan mereka.” Setelah mendengar ucapan Sa‘ad bin Muadz ini wajah Rasulullah saw kelihatan berseri dan berkata kepadanya: “Engkau dapat yang engkau inginkan”

Di lain sisi, kaum Musyrikin dikejutkan oleh parit di hadapannya. Mereka berkata, bahwa itu tipu daya yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Arab. Kemudian mereka mengambil posisi dan berkemah di sekitar parit mengepung kaum Muslimin. Tetapi tidak terjadi pertempuran kecuali beberapa orang Musyrik yang berusaha menyeberangi parit di suatu sudut yang sempit dan berhasil dicegat oleh kaum Muslimin. Dalam usaha ini sebagian mereka kembali dan sebagian yang lain terbunuh. Di antara orang Musyrik yang terbunuh itu terdapat Amer bin Wudd. Ia dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.

Kekalahan kaum Musyrikin tanpa peperangan: Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang Khandaq ini tanpa melalui pertempuran. Allah mengalahkan mereka dengan dua sarana yang tidak melibatkan kaum Muslimin sama sekali. Pertama, dengan seorang lelaki dari kaum Musyrikin bernama Nu‘aim bin Mas‘du, yang datang kepada Nabi saw menyatakan diri masuk Islam yang kemudian menawarkan diri kepada Nabi saw untuk melaksanakan segala bentuk perintah yang diinginkan oleh Nabi saw. Lalu Nabi saw memberikan tugas untuk memecah kekuatan musuh.

Nu‘aim kemudian segera pergi mendatangi orang-orang Bani Quraidlah. Nu’aim berkata pada mereka untuk tidak turut berperang bersama-sama kaum Quraisy sebelum mendapat jaminan dari mereka berupa beberapa orang terkemuka sebagai sandera, supaya kaum Quraisy tidak mundur meninggalkan mereka sendirian di Madinah tanpa pembela dalam menghadapi Muhammad dan para sahabatnya. Setelah itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy. Kepada mereka Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas apa yang mereka lakukan dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan kesepakatan bersama Nabi saw untuk menculik beberapa peimpin Quraisy dan Ghathafan untuk diserahkan kepada Nabi saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila orang-orang Yahudi itu datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang sebagai sandera, janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.

Nu‘aim kemudian pergi mendatangi orang-orang Bani Quraidlah. Kepada mereka ia mengemukakan apa yang dikemukakannya kepada orang-orang Quraisy. Demikianlah akhirnya terjadi salah paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga masing-masing dari mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai berkhianat.

Kedua, dengan mengirimkan angin topan pada malam hari yang dingin dan mencekam. Angin topan datang menghempaskan kemah-kemah mereka dan menerbangkan kuali-kuali mereka. Hal ini terjadi setelah mereka melakukan pengepungan kepada kaum Muslimin selama sepuluh hari lebih.

Nabi saw mengutus Hudzaifah untuk melihat keadaan musuh setelah adanya angin topan. Diriwayatkan bahwa Abu Shofyan berkata: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang Bani Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak menyenangkan tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang menghadapi angin topan yang hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku pun akan berangkat pulang.”

Selama perang Ahzab ini berlangsung Nabi saw tidak henti-hentinya, siang malam senantiasa beristighfar, merendahkan diri, dan berdo'a kepada Allah untuk kemenangan kaum Muslimin. Di antara do'a yang diucapkannya ialah :
"Ya Allah, Tuhan yang menurunkan kitab (Al-Quran) yang Maha cepat hidab-Nya, kalahkanlah barisan Ahzab (golongan Musyrikin). Kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.”

Pada peperangan ini Nabi saw luput satu waktu shalat kemudian dilaksanakan (qadha’) di luar waktunya. Di sebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Umar bin Khathab ra datang, waktu perang Ahzab, setelah matahari terbenam kemudian dia mengecam orang-orang kafir Quraisy lalu berkata: “Wahai Rasulullah saw! Aku belum sempat shalat Ashar sampai matahari hampir terbenam.” Nabi saw menjawab: “Demi Allah, aku sendiripun belum shalat (Ashar)” Lalu kami berangkat ke tempat air dan berwudlu. Kemudian Nabi saw shalat Ashar setelah matahari terbenam. Setelah itu Nabi saw melanjutkan dengan shalat maghrib. Imam Muslim menambahkan Hadits lainnya bahwa Nabi saw bersabda pada perang Ahzab, “Mereka (kaum Musyrikin) telah menyibukkan kita sehingga kita tidak sempat Shalat Ashar. Semoga Allah swt memenuhi rumah-rumah dan kuburan-kuburan mereka dengan api". Kemudian Nabi saw melaksanakan (shalat Ashar) antara Maghrib dan Isya.


Beberapa Ibrah
1. Sarana perang yang digunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit, yg pertama kali diterapkan oleh bangsa Arab. Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa, “Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya daripada orang lain.” Sesungguhnya syariat Islam, sebagaimana melarang kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam segala perilaku dan urusannya. Dengan demikian maka dia tidak akan dapat dikuasai dan dibawa ke mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan pirnsip-prinsip syariat Islam. Sikap yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya muncul dari sumber utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah swt kepada manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan tehradap Hukum-hukum Syariatnya hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemimpinan tersebut.

2. Tentang kerja para sahabat bersama Rasulullah saw dalam menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang menjelaskan hakekat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekedar slogan yang menarik untuk mengelabui masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar memancarkan semua nilai dan prinsip Islam baik secara lahiriah ataupun batiniah. Rasulullah saw tidak memerintah, tapi Rasulullah saw secara langsung berperan aktif menggali bersama para sahabatnya sampai pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria, maka beliau pun ikut bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih dan lapar, maka beliau pun yang yang paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakekat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, antara Amir dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan untuk menjamin terlaksananya hakekat ini. Tetapi hal ini berbeda dengan demokrasi dalam perilaku atau pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi. Karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajiban seluruh manusia. Sedangkan sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat tersebut. Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan kepada Allah swt) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.

3. Pelajaran lain yaitu tentang potret Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi saw. Pribadi Kenabiannya tampak pada perjuangannya menghadapi rasa lapar pada saat bekerja bersama para sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan batu pengganjal ke perutnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat lapar. Apakah gerangan yang membuat beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan seperti ini? Adakah karena ambisinya kepada kepemimpinan? Ataukah karena kerakusannya terhadap harta kekayaan dan kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk mendapatkan pengikut yang selalu mengawalnya setiap saat? Semua itu bertentangan dengan penderitaan dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang yang tamak atas kedudukan, kekuasaan atau kekayaan tidak akan tahan bersabar menanggung penderitaan seperti ini. Yang membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya kepada manusia.

Sedangkan kecintaan Nabi saw kepada para sahabatnya dapat dilihat jelas dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk menikmati hidangan yang hanya sedikit itu. Sesuatu yang mendorong Jabir untuk mengundang Nabi saw ialah ketika melihat Nabi saw mengikatkan batu ke perutnya karena menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di rumahnya kecuali untuk beberapa orang, sehingga dia mengundang beberapa orang saja. Tetapi mungkinkah Nabi saw meninggalkan para sahabatnya bekerja sambil menahan lapar sementara dirinya bersama tiga atau empat orang sahabatnya beristirahat menikmati hidangan? Sesungguhnya kasih sayang Nabi saw kepada para sahabatnya lebih besar ketimbang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Nabi saw tidak akan pernah terpengaruh oleh pandangan Jabir tersebut. Pertama, karena tidak mungkin Nabi saw mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya dalam menikmati hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Nabi saw menyerah kepada faktor-faktor material dan batas-batasnya yang bisa membelenggu manusia. Tetapi karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka mudah bagi-Nya untuk memberkati makanan yang sedikit sehingga mencukupi orang banyak. Demikianlah Nabi saw, memiliki pandangan bahwa dirinya dan para sahabatnya adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa baik dalam suka atau pun duka. Oleh sebab itu, Nabi saw menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi mereka, sementara itu Nabi saw memanggil para sahabatnya untuk menikmati hidangan besar di rumah Jabir.

Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir menjadi makanan yang banyak dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa banyak sehingga Nabi saw mengusulkan kepada Sahibul bait (istri Jabir) agar membaginya kepada orang lain. Mukjizat yang mengagumkan ini dianugerahkan kepada Nabi saw sebagai penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada kekuasaan Allah swt, yang mutlaq. Jadi kita perlu disadari adanya dukungan Ilahi yang diberikan kepada Nabi saw melalui sebab-sebab material. Hal itu merupakan salah satu faktor terpenting untuk menonjolkan pribadi Kenabiannya kepada para pengkaji dan pemangat sirah Nabi saw. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai dalil yang kuat untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian pada pribadi Muhammad saw.

4. Apakah hikmah musyawarah Nabi saw kepada sebagian sahabatnya, untuk menawarkan perdamaian kepada bani Ghathafan dengan imbalan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah kepada mereka asalkan mereka bersedia menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan lainnya? Apakah dalil Syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran ini ?

Hikmahnya ialah bahwa Nabi saw mengetahui sejauh mana para sahabatnya itu telah memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada pertolongan Allah swt pada saat menghadapi kepungan kaum Musyrikin secara mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh bani Quraidlah. Sudah menjadi kebiasaan Nabi saw bahwa ia tidak suka menyeret para sahabatnya kepada suatu peperangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki keberanian untuk memasukinya, atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini termasuk salah satu uslub tarbiyah Nabi saw yang paling menonjol kepada para sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau mengemukakan bahwa pandangan itu bukan ketetapan dari Allah, tetapi sekedar pandangan yang dikemukakan dalam rangka upaya menghancurkan kekuatan kaum Musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya.

Dalil syariat yang menjadi landasan pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu dilakukan pada masalah yang tidak ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak berarti bahwa kaum Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil panen buminya kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan. Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat Islam bahwa tindakkan Rasulullah saw yang dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang telah dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah (al-Quran). Adapun hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam permusyawaratan) dan dengar pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Karena diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk menjajagi mentalitas seperti yang kami sebutkan di atas. Yakni sebagai amal tarbawi (pembinaan) semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan mungkin setelah itu datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi memiliki nilai sebagai dalil Syariat.

Tetapi para Ulama risah dalam masalah ini telah menyebutkan bahwa Nabi saw tidak sampai menjadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghathafan. Bahkan sebenarnya Nabi saw tidak pernah memiliki keinginan untuk berdamai dengan Bani Ghathafan. Apa yang diusulkan hanyalah sekedar sebagai manuver dan penjajagan. Ini perlu diketahui karena ada pihak di masa sekarang ini yang mengemukakan pendapat bahwa Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti) kepada non-Muslim manakala diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi saw pernah meminta pandangan para sahabatnya ketika perang Ahzab untuk melakukan hal tersebut. Usulan semata-mata yang dikemukakan dalam pembahasan musyawarah tidak bisa dijadikan dalil.

Mungkin anda bertanya: Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus melepas sebagian harta mereka demi untuk melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan dimusnahkan semuanya, apakah mereka tidak boleh melakukan itu ? Jawabannya, banyak sekali kondisi yang menunjukkan betapa harta kaum Muslimin dirampas dan dijadikan barang rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah menyerbu negeri Islam dan menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak menerima kenyataan ini secara suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa harus tunduk kepada kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka senantiasa mencari dan menunggu kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu bahwa hukum-hukum Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang tidak dipaksa, sebagaimana tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang gila. Oleh karena itu, adalah keliru dan sia-sia belaka jika hukum taklif itu ditetapkan kepada orang-orang yang berada di luar batas taklif.

5. Bagaimana dan dengan sarana apa kaum Muslimin berhasil memetik kemenangan atas kaum Musyrikin dalam peperangan ini ?

Sebagaimana kita ketahui bahwa sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini (perang Khandaq) sama dengan sarana yang pernah digunakan dalam perang Badr. Yaitu sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang senantiasa digunakan Rasulullah saw setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana yang mutlak harus digunakan oleh kaum Muslimin jika mereka ingin memetik kemenangan. Bagaimana kaum Musyrikin yang berjumlah banyak itu bisa terkalahkan, setelah kaum Muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt. Dapat kita baca dalam penjelasan Allah swt di dalam firman-Nya Surah al-Ahzab : 9-25

Sesungguhnya pertolongan Allah swt yang selalu terulang dalam peperangan-peperangan Rasulullah saw ini tidak berarti menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan “petualangan” dan jihad tanpa persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan bahwa setiap Muslim harus mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang terpenting, disamping sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah hanya kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan tidak akan berguna apabila sarana ini tidak terpenuhi secara baik. Jika sarana ini telah dipersiapkan secara memadai oleh kaum Muslimin maka Ia (Allah swt) akan memberikan beraneka mukjizat kemenangan.

Jika bukan karena pertolongan Allah swt dari manakah datangnya angin topan yang memporak-porandakan tentara-tentara Musyrikin itu sementar akaum Muslimin tenang tanpa merasakannya? Di pihak Musyrikin angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-kuali mereka, dan mengguncangkan hati mereka. Tetapi di pihak kaum Muslimin ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.

6. Pada peperangan ini Rasulullah saw tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya menghadapi musuh sehingga beliau mengqadha’-nya setelah matahari terbenanm. Di dalam beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat yang terlewatkan lebih dari satu shalat, kemudian Nabi saw melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya.

Ini menunjukkan dibolehkannya mengqadha’ shalat yang terlewatkan. Kesimpulan ini tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat karena kesibukkan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian dihapuskan ketika shalat khauf (shalat dalam keadaan bahaya misal perang) disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang berjalan kaki ataupun yang berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya benar bukan terhadap dibolehkannya mengqadha’. Ia hanya menghapuskan bolehnya menunda shalat karena kesibukkan. Yakni penghapusan bolehnya menunda tidak berarti juga penghapusan terhadap bolehnya mengqadha’. Dibolehkannya mengqadha’ tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan bahwa shalat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah dibahas ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa’.

Di antara dalil lain yang menunjukkan bolehnya qadha' shalat ialah riwayat yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Nabi saw bersabda pada waktu berangkat kembali ke Madinah dari perang Ahzab. "Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar (atau Zhuhur) kecuali setelah sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat sebelum smapai ke sana (Bani Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan shalat, Beliau tidak memaksudkan itu (melarang shalat)”. Akhirnya kelompok pertama melaksanakan shalat setelah sampai di Banu Quraidlah sebagai shalat qadha.

Kewajiban mengqadha’ shalat yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena tidur, lalai atau sengaja ditinggalkan. Karena setelah adanya dalil umum yang mewajibkan qadha’ shalat yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadha’ ini dengan sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan shalatnya di tengah perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur atau lupa. Oleh sebab itu, adalah keliru jika syariat qadha shalat yang terlewatkan ini dikhususkan bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang mengkhususkan qadha’ shalat dengan shalat wajib tertentu saja, tanpa landasan syariat.

Barangkali ada sebagian orang yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang mengkhususkan keumuman syariat qadha itu: "Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.” Tetapi pemahaman ini tidak dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan hanya memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadha’ shalatnya, tetapi tujuannya ialah untuk menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan ini menjelaskan bahwa orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan tidak disyariatkan untuk menunggu datangnya waktu shalat tersebut pada hari berikutnya. Tetapi ia harus segera mengqadha’ pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian mafhum mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.

semoga setelah membaca tulisan ini, bertambah keimanan kita kepada Allah swt..serta menambah semangat kita untuk meneladani Rasulullah shalallahu alaihi wassalam..
Wallahu’alam bishowab..
Kebenaran hanya milik Allah ta’ala..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar