Senin, 23 Februari 2015

Cerpan : Memoar senja..

Aku menemukan buku lusuh bersampul biru itu di rak paling pojok di akhir kumpulan jurnal-jurnal tebal,  sehingga samar menutupi buku yang sangat tipis dibandingkan jurnal-jurnal itu. Aku tidak sengaja menemukannya, aku hanya sedang ingin menelusuri bagian demi bagian perpustakaan mini ini, menghabiskan waktuku yang sebenarnya sangat sedikit.
Buku catatan yang aku tak tertarik untuk mengetahui bagaimana ia bisa ada di sini, menepis kenyataan bahwa mungkin ia ditakdirkan untuk ku temukan. Aku hanya ingin membaca deretan peristiwa yang ditulis dalam buku itu, mencoba memahami, memosisikan diri sebagai penulis,  dan melebur ke dalam setiap huruf yang tertulis..
Aku ingin mengajakmu membaca beberapa kata, atau bahkan beberapa lembar, bukan apa-apa, aku hanya ingin membaginya. Jika kau tidak keberatan, mari kita mulai.



Awal pekan ketiga, sakit, sendiri, bertahan..

Kemarin aku abis jalan-jalan ke Bintaro, kota yang masih sangat kuat mengikatkan kekangnya padaku. Aku nggak kabur kok, cuma mau refreshing, entah refreshing macem apa yg sampe harus menempuh perjalanan sejam lebih sekali transit kereta beratus langkah, dalam kondisi sekarat. Yeah kalo mau menyebutnya sakit juga boleh, yg pasti menurutku sakit ini udah antara hidup dan mati, apa bedanya dengan sekarat bukan?

Aku sampe di almamater kampusku jam setengah delapan kurang, bau Bintaro masih sama, gurih sedikit manis. Jangan tanya apa artinya, aku juga asal nulis, ngebiarin jari jemariku tetep bergerak, karena kalo berhenti aku takut nggak bisa lagi, menulis. Memang ketakutan yg tak berdasar.
Hey, ikan-ikan di kolam air mancur ini mengerikan, mereka seperti nggak dikasih makan beribu-ribu hari, oke itu lebay. Aku punya sebungkus roti, rencananya buat sarapan, tapi kayaknya aku perlu sedikit berbagi, bukankah berbagi manfaat itu indah? Aku mau dikenang dengan indah, meski hanya oleh seekor ikan. Ah tapi di sini ikannya nggak cuma seekor, banyak sekali, jadi banyak yg akan mengenangku, tidak seperti mereka, orang orang yg mengaku peduli tapi tidak ada pas aku butuh, entah maunya apa.


Jadi karena saking bandelnya aku, masih sakit tapi minum dua cups cappuchino cincau yg esnya minta ampun banyak, besoknya hilang deh suaraku, rasanya tersiksa banget, sakit sekali. Haha aku bercanda,  nggak sesakit itu kok, lebih sakitan nggak dipeduliin sik, beat!
Setelah capek ngasih makan ikan yg nggak kenyang kenyang, aku jalan ke kosnya temenku, biasa, mau ngerepotin. Rumah kos dia itu homy banget, aku yg biasanya malu malu(in) santai aja tuh kesana kemari di rumah kosnya, kayak rumah sendiri aja.
Besok aku juga mau ah punya rumah yg kayak kos temenku itu, itupun kalo aku masih bertahan..

Aku nggak bercanda pas bilang aku mau ngerepotin, soalnya ternyata aku keliatan banget masih sakit, sangat kesakitan mungkin malah. Jadi temen-temen di rumah kos itu ngelayanin aku dengan baik sekali. Padahal aku yg numpang, harusnya nggak perlu ribet-ribet diurusin, dibiarin aja. Tapi ya begitu deh, malah jadi kayak aku pindah ke kos itu buat dirawat. Gimana enggak, aku dibikinin lemon tea hangat, aku tinggal duduk manis aja. Terus dibeliin makan, juga aku tinggal duduk manis, sambil nonton tv. Nggak perlu nyuci piring abis makanku, padahal harusnya nggak gitu ya. Terus paginya sebelum aku pulang, aku dimasakin mie goreng pake telor. Enak banget. Kayak ada yg ngerawat. Tapi itu semua hilang sesaat setelah aku keluar dari rumah kos itu. Tertinggal di belakang seiring lajunya kereta listrik yg aku tumpangi.

Aku pulang, ke tempat dimana seharusnya aku berada. Lantai tiga sebuah rumah kos dengan fasilitas seadanya, dan tetangga formalitasnya. Siang itu panas sekali, begitupun aku, maksudku suhu badanku. Aku nggak suka terlihat lemah, aku nggak suka minta diperhatiin, karena itu nggak natural, palsu. Aku mau manusia manusia yg mengulurkan tangannya ke aku itu benar-benar karena untuk aku, peduli, bukan karena diminta. Jadi pas aku minta tolong, itu artinya aku sangat sangat dan sangat butuh pertolongan, aku akan meminta sekali, tidak ada dua kali, ketika kau menolak maka selesai.
Aku menulis catatan ini bukan untuk siapapun, melainkan untukku sendiri, karena aku sangat berharap bisa tetap ngelihat senja meski aku tak ingat apapun nanti, dan membaca catatan ini mungkin bisa sedikt ngebantu untuk nemuin kepingan kepingan memori yg berserakan entah dimana.

Aku laper, tapi aku nggak bisa kemana-mana, aku bisa menunggu esok untuk makan, tapi mungkin nggak ada esok untukku, kita nggak pernah tau bukan.
Aku masih sangat lelah padahal katanya abis refreshing, sedikit mengurangi penat si tapi belum cukup ngebalikin semangat. Terus apa yg harus aku lakuin dengan banyaknya hal yg bejubel jadi satu seakan memaksa untuk dipikirkan saat itu juga?

Tidur!
Ya! Aku suka tidur, karena saat tidur aku nggak harus mikirin apapun, mikirin hidupku terutama..

Dan tulisan itu berhenti di situ..
Aku berharap itu bukan pertanda buruk.

Matahari saat ini sedang beranjak kembali ke peraduannya, mari bergegas menyambut datangnya senja.
Kau tidak ingin tertinggal melihat satu lukisan Tuhan lainnya, bukan?
Gambaran ketika semburat merah menyala di ujung horizon, laksana kelopak-kelopak mawar yg bertebaran di langit..
Indah ya?
Seindah masa datang yg diawali dengan berakhirnya hari ini..



hanya sedang belajar merangkai kata menjadi sebuah cerita..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar