Kamis, 30 Oktober 2014

meraba kata menata cita..


Mungkin ini akan jadi tulisan terakhir sebelum gue terhanyut dalam kesibukan baru. Bukannya mau berhenti, tapi sepertinya akan susah membagi waktu, uhm menyisihkan waktu untuk menulis. Kadang mungkin orang cuma melihat sebait tulisan itu ya cuma begitu, kumpulan kata yg disusun, kemudian dibaca sepintas lalu, without thinking of the history behind the making. Gue akan sangat egois kalau mengatakan cuma gue yg butuh sangat kerja keras untuk menghasilkan satu tulisan, karena setiap penulis pasti melalui fase itu, fase merancang susunan tulisan, fase berimajinasi, fase menyusun kata atau menulis itu sendiri, fase mengedit, fase membaca ulang, hingga fase fase lainnya hingga sampai dalam tahap finishing. Dan untuk mencapai hasil akhir yg memuaskan, setidaknya untuk dirinya sendiri, proses itu tidaklah mudah dan tidaklah cepat. Meskipun hasil tulisan gue sendiri sangat jauh dari memuaskan, tapi gue juga melalui fase fase panjang itu. Bahkan untuk orang perfeksionis kayak gue ini, tahap yg gue lalui terasa lebih berat dari siapapun, karena setiap detilnya harus dipikirkan dan harus dirasakan, sedikit perasaan mengganjal maka seketika terhenti proses menulis itu. Semuanya harus beres, harus mulus, tidak sempurna tapi setidaknya menenangkan.

Ini masuk ke intinya, dengan waktu di hidup gue yg sebagian besar akan tercurahkan untuk pekerjaan menyebabkan tidak memungkinkannya gue untuk nulis, setidaknya nulis di blog ini, melihat betapa panjang proses yg harus gue lalui untuk melahirkan satu tulisan. Mungkin kalau hanya sebuah catatan kecil, manual, pakai pena dan kertas, masih bisa gue lakukan, nyuri nyuri waktu luang yg tidak luang dalam arti sesungguhnya, tinggal corat coret sedikit dan selesai. Akan sangat berbeda dengan menulis di blog, meskipun sama sama keluar dari hati. Tsah.

Cukup segitu ya intronya, persilakan gue untuk mulai menceritakan sepekan pertama kehidupan baru gue di Jakarta.
Sebutkan satu kata yg pertama kali terlintas ketika kalian mendengar kata Jakarta.
Apa? Macet, panas, hedon, kota metropolitan, gedung pencakar langit, mall, sampah, keras, ondel ondel, metromini, busway, monas, ada lagi yg belum? Kurang lebih itu semua mewakili pandangan kita tentang Jakarta. Dan itu benar.

Sepekan pertama di Jakarta adalah hari hari sebenarnya merasakan hiruk pikuk ibukota, meskipun gue kuliah selama 3 tahun di Bintaro which is masuk Jakarta Selatan, tapi posisinya sudah di pinggir Jakarta, berbatasan langsung dengan Tangerang Selatan. Fyi aja, Tangerang Selatan ini beda dari Tangerang, kalau Tangsel berdampingan dengan Jaksel, sedangkan Tangerang masih 2 jam-an dari Tangsel.
Di Bintaro, gue masih belum sama sekali merasakan Jakarta yg sesungguhnya, selain kos dan kampus yg dekat sehingga nggak perlu naik angkot bermacet macetan di jalan, atmosfer lingkungannya juga diwarnai oleh teman teman sendiri, yg kebanyakan asalnya dari Jawa. Feel homy
Lebih merasa aman, itu pertama kali yg gue rasa dari Bintaro, dibanding dengan tempat sekarang guebernaung. Gue nggak akan cerita detilnya, tapi yg pasti dari pertama gue menginjakkan kaki di daerah kos , ya begitulah perasaan gue tentang lingkungannya, tidak begitu nyaman. But wait, gue ngomongin lingkungan sekitar kosnya ya, bukan di kosnya sendiri, soalnya kalau di kosan alhamdulillah penghuninya baik baik, kakak kelas sendiri, secara gue anak paling unyu jadilah gue ngerasa di-emong, apa cuma perasaan gue aja, entah. Yg pasti ngerasa betah lah di kos itu, kalau saja masalah sinyal bisa gue abaikan.
Ya, masalah sinyal merusak segalanya.
Jadi kebetulan gue ambil kamar yg di lantai 1 dari 3 lantai yg ada. Dan bisa ditebak sendiri, sinyalnya naik turun bahkan lenyap tanpa bekas. Di abad ini tanpa sinyal, tanpa koneksi, itu rasanya mending nggak usah makan, uangnya buat beli tower bts. Saking pentingnya.
So, mulai sekarang, pertanyaan pertama mencari kos kosan adalah ada sinyalnya nggak, atau sinyalnya apa kabar? Bukan lagi, berapa ukuran kamar, fasilitas apa aja, ataupun akses ke mana mana-nya bagaimana..semua ini terjadi semenjak masalah sinyal menyerang. Sampai sampai gue dikatain, hidup di pusat kota tapi kok begitu banget. Plis gue juga nggak ngerti, jangan salahin gue, salahin sinyal yg nggak mampu menembus kerasnya hati gue.
Gara gara bangunannya bertingkat, ditambah dengan terperangkap di lantai satu, jadi ya terimalah nasibmu. Fufufu.

Ini bukan kosan gue, gang ke kosan gue di seberang hotel ini, penting

Hal hal selanjutnya yg gue rasain dengan status (calon) anak gaul Jakarta adalah pertama kali ngerasain car free day yg nggak free sesungguhnya, naik metromini yg getarannya mengguncang jiwa, naik ke lantai 20 sebuah gedung di pusatnya Jakarta, itu maksudnya gedung tempat gue kerja insyaAlloh, alias gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, dan yg paling seru adalah diturunin dari metromini di tengah jalan yg sangat padat kendaraan. Untuk yg satu itu gue punya cerita sendiri, jadi ada hari dimana gue harus ngantor, biasa jam 5 sore pulangnya, dan itu peak hour-nya Jakarta di sore hari. Untuk naik metromini ke arah jalan pulang, gue harus menyeberangi jalanan yg lebarnya segitu lebar tapi penuh dengan segala jenis kendaraan, ditambah suara klakson bersahut sahutan, lengkap sudah ke-shock-an gue. Kalau aja nggak bareng sama mbak yg satu kosan, mbak Indri namanya, kayaknya nggak bakal nyeberang nyeberang gue. Jadi kita itu nyeberangnya bener bener harus nekat, nggak peduli diklakson ataupun dipelototin, pelan pelan hati hati asal pasti, jangan galau di tengah jalan, kalau perlu tebarlah senyum, kali aja ada produser iklan ngeliat, duh.
Paling itu sih kesan pertama yg gue rasa, nggak terlalu ada yg wow, atau gue-nya yg nggak peka, tapi ya mau gimana lagi, semua hal memang seharusnya disikapi biasa aja, sesuai porsinya.
car free day

Dari gedung Djuanda I lantai 19

Fokus gue sekarang adalah bekerja, dengan niat karena Alloh, untuk ibadah, berguna bagi sesama, berkontribusi bagi agama, dan mencari ridho-Nya.
Gue minta doanya semoga bisa amanah menjalankan titipan ini, bisa selalu menjaga integritas, bisa memberi warna bagi sekitar, menerbarkancinta Islam dengan damai, semoga selalu Alloh kuatkan dalam menjalani tiap hari hari gue, dan selalu Alloh jaga dari semua keburukan dunia..

Cita gue, jadi menteri keuangan. Gue serius..
Ya kalau nggak kesampaian, jadi istri menteri juga boleh, haha.
Awalnya pengennya begitu, sebelum gue sadar kalau itu semu, hal yg paling ingin gue capai adalah menggali pengalaman sebanyak mungkin, menjelajah seluruh dunia sejauh mungkin, dengan begitu gue bisa mengenal banyak orang, menemukan banyak keajaiban, dan menambah rasa syukur gue telah diciptakan.
Yosh!
Gue akan berusaha semaksimal mungkin, mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, biar Alloh yg nilai, biar Alloh yg atur..karena pada akhirnya, Dia-lah Sang Penentu..
Welcome new days!


home, big window, Jumat 6 Muharrom, bahagia..

2 komentar:

  1. Cieeeh, ditulis juga kaaan? :D
    Tapi kayaknya pernah kenal, kalimat ttg hidup di tengah kota itu :3
    Dan suer, gue pikir lu aplot foto apartemen lu, sebelum baca tulisan di bawahnya :v

    Btw, itu tulisan yg dicoret, gw aminin aja yah :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. haaaiii :3

      ini baru bisa banget gue bales komennya, setelah sekian lama nggak pegang laptop, inipun akhirnya pegang laptop pinjeman senior di kantor, hheu

      ciee ketipu ciee, keren gilaak gue anak ingusan dgn honor jauh di bawah gaji tukang parkir jakarte (yg katanye sampai 4 juta -,-) bisa tinggal di apartemen, doain ajaaa, someday :D

      wkwk aamiin for every good prayer :)

      Hapus