Rabu, 09 September 2015

Cerpan : Induksi Kopi, Merangkai Hati [Bagian 3]

Kalau mau berbicara tentang kebahagiaan, apa yang jadi indikatornya, itu hal pertama yang harus dijawab.
Oleh siapa?
Oleh Ayra, oleh kita.


Saat itu, saat ia masih muda, penuh dengan obsesi pencarian jati diri, saat ia merasa harus ada sosok yang berada di sisinya selalu. Saat ia tidak yakin mana kawan dan mana lawan. Saat ia tidak menemukan kawan yang benar-benar membersamainya, tanpa keinginan apapun.
Maka, ketika ia menemukan apa yang ia cari, ia bahagia, saat itu.


Kemudian, seiring berjalannya waktu, ia mulai mengerti kalau itu tidak benar. Mengenai hubungan yang tidak sekedar berteman namun juga bukan hubungan yang serius di mata Tuhan, itu tidak baik.
Ia menyesal?
Tidak.


Ketika kau telah memutuskan sesuatu, itu artinya kau mempertaruhkan seluruh dirimu dalam memilih hal tersebut. Dan sebuah kebodohan membiarkan kau menyesali hal yang kau tentukan sendiri. Lebih jauh lagi, kau berarti menyesali keberadaan dirimu sendiri.




“Masa lalu itu tidak untuk diungkit-ungkit Ra. Masa lalu itu untuk dijadikan kaca spion, sesekali dilihat untuk mengarahkan jalan kita. Kembali ke arah yang benar.” ucap laki-laki yang dengan menatap matanya mampu membuat Ayra merasa terlindungi, dan memang.


“Ram, aku harus menemukan alasan untuk bikin aku bahagia setelah melewati hari yang berat di kantor.” ucap gadis dengan jepit rambut bermotif silang yang tersemat manis di samping agak belakang rambutnya, dibiarkan sisa rambutnya tergerai kemudian tersapu lembut oleh hembusan angin sore.


“Jadi..."
"Kamu belum bahagia Ra?”



Kedua pasang mata itu bertemu.
Sepasang memperlihatkan kelebatan kecewa.
Sepasang sedang berusaha meyakinkan, kalau bukan itu maksudnya.


bersambung..
==============================



Ini bagian paling cepat yang gue bikin.Tapi imbasnya, gue nggak sanggup komentar.
It is really touching me down, then make me recall, everything, in my past.
Hope you enjoy this one :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar